Dec
20
2009
0

Innovation War : Nokia vs. Blackberry

bebe-reDemam Blackberry (Bb) di tanah air tampaknya kian tak tertahankan. Laju penjualannya terus melesat, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan pengguna Bb tertinggi di dunia (!) Para pejabat RIM (Research In Motion) – produsen Bb yang berlokasi nun jauh di Ontario, Kanada sana – sampai tertegun-tegun, bahwa ada ledakan populasi pengguna Bb di sebuah negeri katulistiwa bernama Indonesia.

Dan kisah menjulangnya produk Blackberry itu dengan segera membuat produk smartphone keluaran Nokia seperti terpelanting, tercabik penuh luka. Jika tren ini terus berlanjut – dan banyak pengamat percaya ini akan terus berlanjut – masa depan produk smartphone Nokia niscaya akan tergolek dalam bayang-bayang kehancuran.

Syair dan kidung kematian mungkin masih terlalu pagi untuk dilantunkan. Namun, dalam perang inovasi yang brutal, everything is possible. Jika Nokia tak jua mampu mengelak, pendekar tangguh dari Finliandia ini bisa pelan-pelan tergeletak wafat dalam pusara kematian. Dan di atas batu nisannya, tercetak kalimat : Nokia – Rest in Peace. Who knows?

Semua kisah yang membawa kepiluan bagi Nokia itu berawal dari satu produk yang bernama Blackberry. Ada dua faktor utama yang berperan dalam melambungnya produk Bb ini. Yang pertama tentu saja adalah : produk yang inovatif dengan desain amat elegan. Teknologi email dan browsing-nya sangat user friendly, dan penempatan papan keyboardnya juga terlihat sangat pas (untuk seri Bold dan Curve). Desainnya juga sangat cantik nan menawan, membuat produk smartphone Nokia Communicator menjadi terlihat sangat jadul.

Faktor kedua, yang juga tak kalah penting, adalah apa yang dapat disebut sebagai “imitation effect”. Tentu efek ini bukan khas Indonesia, namun lazim menghinggap pada benak para konsumen di berbagai penjuru dunia. Efek ini intinya begini : kalau orang laen pake Bb, gue mesti pake juga dong. Sebab kalo gue ndak pake, gue bakal kelihatan ketinggalan jaman, gitu.

Efek semacam itu dengan segera akan menciptakan viral : atau promosi yang menyebar dengan sendirinya melalui jaringan para konsumennya. Efek semacam ini pelan-pelan bergerak seperti bola salju dan pada titik tertentu, akan menciptakan momentum ledakan penjualan. Gladwell menyebutnya sebagai tipping point : atau titik dimana efek viral itu melaju tak tertahankan.

Dan persis efek semacam itulah yang dengan indah dimanfaatkan oleh produsen Bb. Mereka hampir tak pernah mengeluarkan biaya untuk iklan; sebab yang menjadi salesman produk mereka adalah ribuan penggunanya yang tersebar disetiap sudut kota. Dan asyiknya “ribuan salesman/salesgirl” ini tidak perlu dibayar. Namun seperti kita lihat : efeknya sangat dramatis bagi laju penjualan Bb. (Ini tentu berbeda dengan smartphone Nokia yang jor-joran mengeluarkan puluhan milyar untuk pasang iklan dimana-mana; namun hasilnya tak juga maksimal).

Menyadari serbuan Bb yang kian tak tertahankan, Nokia mencoba merilis seri E, yang merupakan rangkaian produk smartphone dengan beragam keunggulan. Namun sayang, laju penjualannya ndak seperti yang diharapkan. Inilah yang membuat pangsa pasar smartphone Nokia secara global kian tergerus (dari sekitar 49 % pada tahun 2006 menjadi 41 % pada tahun 2009 ini; sementara pangsa Bb melaju hampir tiga kali lipat, dari 7 % pada tahun 2006 menjadi 20% pada tahun 2009).

Tren diatas tak pelak telah membuat Nokia segera berbenah; sebab jika mereka terus gagal membalikkan tren itu, maka masa depan mereka benar-benar berada dalam kekelaman. Sebab pada sisi lain, secara global Nokia juga harus menahan laju produk dahsyat lainnya, yakni iPhone dari Apple yang juga terus menggerus pangsa pasar Nokia.

Serangkaian kisah diatas tampaknya kian menegaskan arti penting inovasi. Tanpa kecerdikan melakukan inovasi, setiap perusahaan – betapapun hebatnya – pasti akan terjungkal dalam semak-semak kehinaan. Perang inovasi memang sungguh brutal. Ia selalu akan meninggalkan para pecundang yang tak sigap merespon dinamika pasar. Pecundang semacam pasti akan selalu tersingkir, dan terkaing-kaing dalam lembah kenestapaan.

Sebab itulah, kita sungguh percaya dengan mantra ini : INNOVATION. How can you survive without it?

sumber : http://strategimanajemen.net/2009/08/31/innovation-war-blackberry-vs-nokia/

Pembahasan

nokvsapplevsblackberry

Wacana diatas similiar dengan wacana J’Co yang telah saya bahas di wacana sebelumnya, yaitu berkisar tentang efektifnya marketing word of mouth, dimana kita tidak perlu menghabiskan biaya untuk proses pemasaran yang berlebihan. Telah kita ketahui, BB (Blackberry) merupakan salah satu Smartphone yang banyak digandrungi banyak orang di Indonesia, dari remaja sampai orang dewasa, bahkan saya sendiri melihat bahwa lebih banyak pengguna BB dibandingkan pengguna Handphone lainnya. Padahal, BB tidak pernah beriklan di Indonesia, dan RIM sendiri tidak membuka service centernya di Indonesia, tapi mengapa BB bisa sedemikan lakunya di pasaran? Jawabannya adalah trend, dan mouth to mouth marketing.

Tentunya faktor pemasaran tidak selamanya merupakan faktor yang paling menentukan, dalam hal ini BB sendiri merupakan smartphone yang didesign sedemikian inovatifnya, yaitu dengan design dan fitur didalamnya yang memudahkan semua orang dalam mengakses email dan messenger, dimana BB dapat meraup banyak keuntungan dari pengguna Facebook di Indonesia. Inovasi dari BB ini menggusur pasar Nokia di Indonesia, yang mana Nokia sudah lama sekali menginjakkan kaki dan berjaya di Indonesia ini.

Tentu saja BB sangat sukses menjajakkan kakinya di Indonesia ini, dengan harga yang lumayan dapat dijangkau di pasaran, tidak seperti iPhone yang harganya masih mencekik leher, maupun Nokia yang sudah jenuh di kalangan masyarakat. Nokia sendiri sudah mengeluarkan ponsel QWERTY, tapi kurang diminati, karena masyarakat menganggap bahwa ponsel QWERTY selain BB adalah tiruan, tidak orisinil. Inovasi merupakan faktor utama sebuah produk untuk dapat laku di masyarakat, karena manusia merupakan mahluk yang cepat bosan, dan butuh hal yang baru untuk menarik minatnya kembali. Ini merupakan knowldge yang harus diterapkan pada produsen Smartphone, dimana inovasi merupakan salah satu hal yang paling penting dalam membuat produk dan menarik minat masyarakat, bukan dengan meniru produk yang laku di pasaran.

Written by oktorio in: Case Study |
Dec
20
2009
0

J.CO Mulai Beriklan Di Koran

jcoAda hal baru yang saya lihat di Kompas edisi Sabtu 23 September 2006, disitulah saya pertama kali melihat iklan / newspaper-ad dari J.CO Donuts. Sebagian orang mungkin bertanya-tanya : Bukannya J.Co sudah terkenal dan itu adalah hasil iklan ? Setahu saya sebelum ini J.CO belum pernah memasang iklan di koran atau majalah (apalagi TV ). Tapi J.CO secara cerdik memanfaatkan kegiatan Public Relation (PR) dan word of mouth. Sebagai gerai donat premium pertama yang ada di Indonesia, maka J.CO telah menciptakan pemberitaan luar biasa dengan diferensiasi rasa, harga, dan suasana gerainya, serta antrian calon pembelinya. Hal itu menjadi bahan pemberitaan media yang menjadi bahan PR bagi J.CO. , sehingga J.CO tidak perlu memasang iklan untuk mendapatkan exposure dari media.

Namun, kehadiran Krispy Kreme sebagai kompetitor tentu saja harus merubah cara J.Co dalam melakukan aktifitas marketing communication. Krispy Kreme ( K.K ) memanfaatkan cara berkomunikasi yang sama dengan J.CO, KK memanfaatkan word of mouth dan juga PR, seperti acara pembukaan gerai pertamanya di Pondok Indah yang menciptakan antrian yang luar biasa panjang. Nah, J.CO sebagai market leader dan pemain pertama memang seharusnya mengantisipasi dengan memanfaatkan media komunikasi yang belum dipakai oleh kompetitor. Jadi saya rasa langkah J.CO sudah benar, J.CO harus beriklan sebelum KK beriklan. Karena being first in the mind and the market adalah hal yang cukup penting. Selain itu langkah beriklan juga antisipasi / mem-block langkah kompetitor dalam memanfaatkan media komunikasi.

Selain itu, J.CO juga mulai melebarkan sayap dengan membuka gerai di berbagai kota lain selain Jakarta, yaitu di Bandung, Surabaya, dan Makassar. Selain itu mereka juga akan segera membuka gerai di Bogor, Pekanbaru, Batam, Bali, dan Medan. Sehingga penggunaan media nasional sudah tepat dan sesuai dengan image premium dari J.CO. So, what do you think ?

sumber : http://aboutandri.blogspot.com/2006/09/jco-mulai-beriklan-di-koran.html
Pembahasan

j-co-donuts-top-view2

Langkah J’CO dalam beriklan di koran merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mencuri start dari kompetitornya, yaitu Krispy Kreme. J’Co merupakan salah satu leader dari pasar donut di Indonesia, dimana strategi marketing mereka pada awalnya adalah penyebaran informasi melalui word of mouth. Banyak diantara kita tidak mengetahui pada awalnya, bahwa J’Co sama sekali tidak pernah beriklan di media, melainkan penyebaran dari mulut ke mulut. Pasti diantara kita lebih sering mendengar J’Co pada awalnya dari teman, ataupun saudara kita. Strategi demikian merupakan strategi yang sangat efektif, karena words spread by mouth lebih efektif daripada beriklan ke media, karena orang tidak selalu yakin dengan apa yang dia lihat di media.

Langkah yang diambil J’Co dalam beriklan di media nasional merupakan langkah untuk mengantisipasi Krispy Kreme dalam persoalan marketing, dimana Krispy Kreme mengambil langkah yang sama dengan J’Co , yaitu word of mouth. Sangat disayangkan langkag Krispy Kreme hanya meniru langkah market leader, dengan hal ini J’Co masih unggul satu langkah dari Krispy Kreme, ditambah lagi J’Co mulau merubah strategi pemasarannya, yaitu dengan beriklan ke media nasional.

Knowledge yang perlu kita pelajari adalah, masyarakat adalah manusia, yang jenuh akan perulangan yang terjadi di sekitarnya, oleh karena itu untuk memasarkan sesuatu, kita harus mulau inovasi yang baru, bukan meniru yang telah ada. Adapun juga sebagai market leader, kita tidak boleh terlena dengan produktivitas kita yang terjaga, melainkan harus mencari inovasi untuk menarik kustomer yang lebih banyak.

Written by oktorio in: Case Study |
Dec
20
2009
0

Customer Management di Era New Wave

bnus5
Rabu, 4 November 2009 | 13:48 WIB

KOMPAS.com – Pengelolaan pelanggan, jika dilakukan dengan benar akan membantu pemasar dalam meningkatkan efektifitas mendapatkan pelanggan baru (Get), mempertahankan pelanggan yang telah ada (Keep), dan meningkatkan wallet share tiap pelanggan (Grow). Pada intinya, pelanggan bukan hanya harus diakuisisi, tapi dipertahankan agar dapat memberikan nilai jangka panjang. Dan bukan itu saja, pengelolaan pelanggan ini akan membantu pula untuk menghasilkan pelanggan loyal yang lebih banyak.

Di era Legacy, pengelolaan pelanggan ini bisa dilakukan secara sistematis, lewat prinsip sembilan elemen pemasaran. Untuk mendapatkan pelanggan baru yang berpotensi untuk ditingkatkan loyalitasnya (keep dan grow), sejak awal perusahaan harus menyaring secara benar para suspek yang masuk menjadi prospek yang bernilai tinggi. Dengan demikian hanya diperlukan sumber daya yang minim untuk mengubahnya menjadi pembeli pertama (first time buyer). Suspek yang masuk disaring dengan strategi Segmentasi, Targeting, dan Positioning-disingkat STP. Tujuannya adalah agar suspek yang masuk menjadi prospek adalah suspek-suspek yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang sama dangan value proposition yang dimiliki produk.

Kemudian untuk menarik prospek menjadi pembeli pertama digunakan strategi diferensiasi, marketing-mix, dan selling- disingkat menjadi DMS. Diferensiasi yang mendorong prospek memilih produk kita dibandingkan produk pesaing. Diferensiasi dikongkritkan lagi dalam marketing mix yang yakni product, price, promotion dan place, harganya mau dipatok pada angka berapa, bagaimana konsep iklan below the line (BTL) dan above the line (ATL)-nya dan mau memakai saluran distribusi apa saja. Keputusan dalam marketing mix akan menentukan kredibilitas positioning yang telah dibangun sebelumnya. Misalnya produk telah diposisikan sebagai produk yang ekslusif namun ternyata pelanggan dapat menjumpainya di sembarang channel, maka jelas kesan ekslusif yang coba dibangun dengan promosi menjadi tidak berguna.

Setelah mendapat first time buyer, tentunya perusahaan ingin mempertahankannya selama mungkin menjadi pelanggan loyal. Caranya dengan menjelaskan nilai dari brand, meningkatkan kualitas servis (Service), dan memperbaiki proses yang mendukung perbaikan servis (Process)- disingkat BSP.

Untuk mendorong first time buyer melakukan pembelian berikutnya, pelanggan harus percaya pada nilai brand (brand value). Membangun brand yang kuat berkaitan dengan usaha untuk membuat pelanggan melihat brand kita sebagai brand yang paling kredibel yang dapat memberikan solusi terbaik. Brand harus menjadi bayung yang merepresentasikan produk dan servis.

Untuk meningkatkan brand value, sebuah brand membutuhkan dukungan servis yang baik. Peningkatan nilai produk melalui servis tidak akan terjadi tanpa adanya proses yang efektif dan efisien. Proses di sini yang dimaksud adalah proses penciptaan nilai bagi pelanggan yang tergambar pada kualitas produk, biaya yang dikeluarkan dan kualitas hantaran produk kepada pelanggan atau disingkat QCD-quality, cost, delivery.

Itu semua tentunya ajaran yang sesuai dengan konsep pemasaran yang Legacy di mana pemasar dibantu oleh sistem yang ‘canggih’ seperti CRM, ERP, atau lain sebagainya. Tentunya itu semua sudah semakin tidak relevan lagi seiring dengan masuknya kita ke era New Wave.

Di dunia yang baru dan horizontal ini, kepanjangan dari CRM mungkin bukan lagi Customer Relationship Management, namun Customer Really-Managed. Karena konsumen semakin memegang kendali, mereka terhubung kemana-mana, dan lebih komunal. Sebagai mana yang akan dibahas dalam artikel selanjutnya, yang menjadi sentral dalam customer management di era New Wave ini adalah bagaimana pemasar mengelola pelanggan di komunitas mereka.

sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/04/13482093/customer.management.di.era.new.wave


Pembahas

crm_internship

Jaman terus berkembang, demikian juga Customer Management di era sekarang berbeda dengan era terdahulu. Perubahan yang dinamis harus cepat dilakukan agar tidak tertinggal pada arus new wave. Perlakuan perusahaan terhadap para customer juga harus mengikuti pola perkembangan jaman. Sistem yang sistematis, yang menganut prinsip 9 elemen pemasaran tidak lagi pantas diterapkan dijaman sekarang, karena kehidupan yang dinamis, perlu pola pikir yang berkembang untuk inovasi yang baru.

Untuk jaman sekarang, konsumer merupakan pihak yang memegang kendali, bukan perusahaan. Saya setuju dengan wacana diatas tentang CRM, yang sekarang bukan lagi disingkat menjadi Customer Relationship Management, melainkan Customer Really-Managed. Tata cara pengelolaan produk juga tidak setradisional era legacy,  karena permintaan pasar semakin berubah dari masa ke masa. Oleh karena itu Customer Management lebih harus difokuskan ke arah komunitas, yang mengarah pada segmen pasar yang akan diberlakukan.

Knowledge yang dapat diambil dari wacana ini adalah, semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula teknik pemasaran, produksi dan lainnya, hal ini perlu dicamkan bahwa untuk mengikuti perkembangan yang dinamis ini, perlu adanya knowledge akan pasar saat ini, dimana knowledge tersebut sangat mudah didapat dari komunitas yang berada di masyarakat. Dengan mengikuti permintaan komunitas, secara tidak langsung kita membangun sebuah knowledge yang solid terhadap apa yang dibutuhkan untuk membuat product baru, ataupun dalam bentuk pemasaran.

Written by oktorio in: Case Study |
Dec
20
2009
0

Mengarungi Pasar Lewat Pendekatan Horisontal

bnus4Kamis, 3 Desember 2009 | 10:01 WIB

KOMPAS.com – Di artikel-artikel sebelumnya kami sudah membahas bahwa PDB (Positioning, Differentiation dan Branding) yang ‘vertikal’ itu sudah tidak cukup lagi. Harus dihorisontalkan menjadi Triple C! Positioning menjadi Clarification, Differentiation jadi Codification dan Brand jadi Character.

Setelah melihat satu per satu inisiatif-insiatif yang diambil oleh kedai kopinya Paman Howie yang bernama Starbucks untuk menerapkan prinsip New Wave, selanjutnya kita perlu melihat tepatnya bagaimanakah Triple C dari Starbucks, dalam hal ini bagaimana ia mengklarifikasikan apa gunanya Starbucks buat komunitas, bagaimana ia mengkodifikasikan DNA sesungguhnya yang betul-betul otentik, dan juga membangun karakternya yang sempat menghilang. Analisa Triple-C ini akan mengungkapkan bagaimana strategi Starbucks dalam menghadapi pasar, terutama di era horizontal ini.

Starbucks selalu mengklarifikasikan diri diri sebagai ”the third place for coffee” atau tempat ketiga untuk menikmati kopi, setelah rumah dan kantor. Dengan klarifikasi ini, Starbucks mencoba untuk jujur dengan menyatakan bahwa mereka tidak berkompetisi dengan kopi yang disajikan di rumah yang mungkin merupakan ritual keluarga ataupun dengan kopi di tempat kerja yang bagian dari suatu kebutuhan. Sehingga cukup jelas komunitas yang ingin diklarifikasi oleh Starbucks, yaitu kelompok sosial yang gemar berkumpul di luar kantor dan rumah.

Sedangkan DNA Starbucks terkodifikasi, berpusat pada ”The Starbucks Experience”. Inilah DNA code dari Starbucks yang tidak dapat ditiru dengan mudah oleh kompetitor karena terbentuk selama bertahun-tahun sejak perusahaan ini mulai dikelola oleh Paman Howie . Kodifikasi inilah yang menjadi kunci yang membedakan sampai mengakar antara Starbucks dan kompetitornya.

Starbucks memang sempat nyaris lupa diri dengan melupakan kodifikasinya ini. Setelah Paman Howie mengundurkan diri sebagai CEO pada tahun 2000, fokus perusahaan lebih diarahkan pada pertumbuhan dan diversifikasi usaha. Era pertumbuhan Starbucks yang dipimpin oleh Orin Smith dan Jim Donald ini memang membawa hasil yang signifikan. Jumlah outlet Starbucks di dunia mencapai puluhan ribu. Tapi pada era ini, sepertinya perusahaan melupakan fokusnya pada “The Starbucks Experience”.

Tanpa ada pembeda yang kuat antara Starbucks dan kompetitor-nya, perusahaan ini mengalami banyak ancaman. Dengan munculnya kopi premium dari McDonalds dan Dunkin Donuts, posisi Starbucks sebagai “the third place” tidak lagi solid. Saat pembeli melihat bahwa kualitas kopi yang ditawarkan kompetitor tidak jauh berbeda dengan Starbucks, pembeli kehilangan motivasi untuk membeli produknya yang memang dijual dengan harga premium itu. Starbucks saat itu seperti melupakan bahwa “The Starbucks Experience” adalah salah satu alasan utama para pembelinya mencintai kopi yang sering disebut over-priced itu.

Kodifikasi inilah yang akhirnya dibangkitkan kembali oleh Paman Howie saat dia memutuskan untuk kembali menjadi CEO perusahaan dan memecat Jim Donald pada awal 2008. Secara gamblang menyatakan bahwa Starbucks sudah menjadi “korporasi tak berjiwa” dan fokus utama dia adalah mengembalikan “The Starbucks Experience” dan menghentikan komoditisasi yang sedang terjadi terhadap brand yang dibesarkannya ini.

Karakter Starbucks memang mencerminkan apa yang menjadi ambisi dari Paman Howie, yaitu perusahaan yang berada pada keseimbangan antara profitability (keuntungan) dan benevolece (kedermawanan). Itulah mengapa aktivisme sosial sangat penting bagi perusahaan ini. Dan seperti telah dibahas dibahas sebelumnya, karakter ini

Sebuah kutipan dari Paman Howie mungkin bisa menyimpulkan tulisan studi kasus ini, sekaligus menunjukkan bagaimana pemipin Starbucks ini melihat perusahaannya di tengah kompetisi: “Kami tidak memiliki hak paten atas apa yang kami lakukan dan apa pun yang kami jalankan dapat ditiru oleh siapapun. Tapi mereka tidak mungkin bisa meniru jiwa dan hati nurani perusahaan.”

sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/12/03/10010574/mengarungi.pasar.lewat.pendekatan.horisontal


Pembahasan


starbucks-logo

Unsur knowledge management sangat kental pada wacana diatas. Pada era new wave, PDB (Positioning, Differentiation dan Branding) memang tidak lagi menjadi patokan yang kuat. Oleh karena itu perusahaan banyak yang berali ke Triple C! , Positioning menjadi Clarification, Differentiation jadi Codification dan Brand jadi Character. Pada awalnya Starbucks fokus terhadap jati diri mereka, yaitu sebagai the third place for coffee”, dimana mereka jujur, bahwa merekalah tempat ketikga untuk menikmati coffe setelah dirumah dan di kantor. Unsur ini yang menjadikan jati diri Starbucks, ditambah dengan kodifikasi “The Starbucks Experience”, dimana Starbucks telah didirikan bertahun-tahun, tidak seperti kompetitor lainnya. Unsur coffee starbucks yang premium tidak terkalahkan semasa itu. Paman Howie merupakan CEO terbaik yang pernah dimiliki Starbucks.


Sangat disayangkan ketika terjadi pergantian CEO, dimana Knowledge Management yang diterapkan oleh Paman Howie berubah arah dan jati diri ketika Starbucks dipegang oleh Orin Smith dan Jim Donald. Orin Smith dan Jim Donald lebih memfokuskan pada penyebaran sayap dan distrubusi secara global, dimana Starbucks memiliki lebih banyak outlet di dunia, sehingga hal ini kehilangan jati diri dari Starbucks sendiri. Hal ini menjadikan Starbucks tidak berbeda jauh dengan kompetitor yang baru dilahirkan, dimana cita rasa premium nya hilang karena proses perluasan secara besar-besaran tersebut. Pergantian CEO dapat memberikan dampak yang sangat signifikan, apabila unsur Knowledge Management tidak dikelola secara baik.


Oleh karena itu, Paman Howie kembali memimpin Starbucks, dan memecat Jim Donald di tahun 2008. Harga sebuah orisinalitas merupakan kunci yang sangat penting dalam pemasaran produk. Hal ini dipegang dan dimengerti dengan baik oleh Paman Howie, dimana jiwa dan nurani perusahaan Starbucks, merupakan aspek yang sangat sulit ditiru oleh kompetitor lainnya.

Written by oktorio in: Case Study |
Dec
20
2009
0

Pencantuman “Made in Indonesia” Masih Tabu

bnus1Senin, 30 November 2009 | 12:07 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Pencantuman Made in Indonesia atau buatan Indonesia pada produk-produk ekspor masih belum dilakukan pengusaha Indonesia. Barang-barang produksi negeri ini, yang membanjiri pasar internasional, tak sedikit dijual tanpa identitas. Bahkan, ada yang dilabeli buatan negara lain.

Di beberapa pusat perbelanjaan di Singapura, misalnya, beberapa pedagang menjual produk kerajinan dari Indonesia. Menurut mereka, aneka barang tersebut, seperti kain batik, diimpor dari Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan (Jawa Tengah). Namun, mereka enggan mencantumkan Made in Indonesia pada produk dagangan yang dijual sebagai oleh-oleh khas Singapura itu.

Yasmin, salah satu pedagang di Singapura, yang ditemui akhir pekan lalu mengaku tak sulit mendapatkan bahan dagangan berupa batik dan pernak-pernik kerajinan dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, kain batik dengan motif khas Solo atau Yogyakarta yang diperdagangkannya hanya diberi label batik prada atau batik lepas. Harga jual pun melambung tinggi dibandingkan dengan harga jual di Indonesia.

Batik prada dari Solo dijual 39 dollar Singapura (setara Rp 273.000) dan batik lepas sepanjang 2,5 meter dijual Rp 84.000. Syal batik yang bisa dibeli dengan harga Rp 15.000 di Jalan Malioboro, Yogyakarta, bisa dijual Rp 126.000 per helai di Singapura.

Belum pernah

Perajin topeng kayu di Kabupaten Gunung Kidul, yang telah menembus pasar ekspor, juga belum pernah mencantumkan Made in Indonesia pada produk topeng kayu produksi mereka.

Beberapa perajin bahkan mencantumkan Made in Jamaica atau Made in Afrika pada barang-barang yang mereka produksi. Mereka mengaku, pencantuman lokasi pembuatan masih disesuaikan dengan permintaan pelanggan.

Menurut Kepala Dusun Bobung, yang juga perajin topeng kayu, Kemiran, rata-rata omzet perajin di Dusun Bobung sekitar Rp 180 juta per bulan.

Dusun Bobung memiliki 245 perajin yang jumlahnya cenderung stagnan dari tahun ke tahun. Mayoritas pangsa pasar dari kerajinan topeng kayu Gunung Kidul ini adalah pasar internasional.

Selama ini, kerajinan topeng dari Gunung Kidul telah menembus pasar di Amerika Serikat, Italia, dan Jepang. Pangsa pasar dalam negeri masih didominasi Jakarta dan Bali. Beberapa kerajinan batik kayu asal Gunung Kidul juga dilabeli dengan Made in Bali. (WKM)

sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/30/1207229/pencantuman.made.in.indonesia.masih.tabu

Pembahasan

Dapat kita simak dari wacana diatas, bahwa pencantuman “Made in Indonesia” untuk diekspor ke Negara lain masih sangat tabu di kalangan pedagang Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan karena berbagai aspek, yaitu kurangnya nasionalitas para pedagang, dan keuntungan yang di dapat dari pencantuman “Made In …”. Merk lokal sangat sulit dipasarkan keluar negri jika mencantumkan brand lokal untuk di ekspor. Sangat ironis,  batik kebanggaan negri yang menjadi identitas Indonesia justru lebih laku jika dipasarkan keluar negri tanpa mencantumkan identitas Indonesia.

Unsur knowledge yang kita dapat yaitu adalah, pencantuman brand atau merk yang masih sangat kental di dunia ini, contohnya dari kasus diatas. Brand Indonesia sangat masih kurang diminati di dunia International. Kebanyakan mata dunia, memandang Indonesia sebelah mata, kebanyakan mereka memandang Indonesia adalah Bali. Ironis sekali akan hal ini, yaitu pencantuman “Made in Bali” akan lebih laris dibandingkan dengan penjualan dengan label “Made in Indonesia”, yang mana batik sebenarnya bukan berasal dari daerah Bali semata.

Dapat kita lihat bahwa saat ini, konsumen masih terpatok terhadap gaya hidup yang berdasarkan brand positioning, dimana kebanyakan konsumer masih melihat suatu produk dari sebuah label, bukan kualitas semata. Dalam hal ini saya tidak menggeneralisir seluruh konsumer, tapi berdasar pengamatan saya brand menduduki peringkat pertama dalam pemilihan sebuah produk. Sebagai contoh, celana dengan merk “Levi’s” dan “Made in USA”  lebih banyak diminati daripada celana dengan merk “Vision Mission” , “Made in Indonesia”, padahal secara kualitas menurut saya Levi’s sendiri sudah kalah dalam sisi kualitas.

brand_positioning_4901

Pada aspek brand positioning inilah, para penjual dan pedagang memanfaatkan knowledge tersebut untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, dengan tidak melihat aspek nasionalitas, dan memalsukan label “Made in Indonesia” dengan label lain yang lebih dapat menarik perhatian konsumer. Pada saat ini, produk yang ditawarkan oleh para penjual dan pedagang adalah produk yang menguntungkan, bukan yang berkualitas.

Written by oktorio in: Case Study |

Powered by WordPress. Theme: TheBuckmaker. Zinsen, Streaming Audio