Dec
20
2009

Pencantuman “Made in Indonesia” Masih Tabu

bnus1Senin, 30 November 2009 | 12:07 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Pencantuman Made in Indonesia atau buatan Indonesia pada produk-produk ekspor masih belum dilakukan pengusaha Indonesia. Barang-barang produksi negeri ini, yang membanjiri pasar internasional, tak sedikit dijual tanpa identitas. Bahkan, ada yang dilabeli buatan negara lain.

Di beberapa pusat perbelanjaan di Singapura, misalnya, beberapa pedagang menjual produk kerajinan dari Indonesia. Menurut mereka, aneka barang tersebut, seperti kain batik, diimpor dari Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan (Jawa Tengah). Namun, mereka enggan mencantumkan Made in Indonesia pada produk dagangan yang dijual sebagai oleh-oleh khas Singapura itu.

Yasmin, salah satu pedagang di Singapura, yang ditemui akhir pekan lalu mengaku tak sulit mendapatkan bahan dagangan berupa batik dan pernak-pernik kerajinan dari berbagai daerah di Indonesia. Namun, kain batik dengan motif khas Solo atau Yogyakarta yang diperdagangkannya hanya diberi label batik prada atau batik lepas. Harga jual pun melambung tinggi dibandingkan dengan harga jual di Indonesia.

Batik prada dari Solo dijual 39 dollar Singapura (setara Rp 273.000) dan batik lepas sepanjang 2,5 meter dijual Rp 84.000. Syal batik yang bisa dibeli dengan harga Rp 15.000 di Jalan Malioboro, Yogyakarta, bisa dijual Rp 126.000 per helai di Singapura.

Belum pernah

Perajin topeng kayu di Kabupaten Gunung Kidul, yang telah menembus pasar ekspor, juga belum pernah mencantumkan Made in Indonesia pada produk topeng kayu produksi mereka.

Beberapa perajin bahkan mencantumkan Made in Jamaica atau Made in Afrika pada barang-barang yang mereka produksi. Mereka mengaku, pencantuman lokasi pembuatan masih disesuaikan dengan permintaan pelanggan.

Menurut Kepala Dusun Bobung, yang juga perajin topeng kayu, Kemiran, rata-rata omzet perajin di Dusun Bobung sekitar Rp 180 juta per bulan.

Dusun Bobung memiliki 245 perajin yang jumlahnya cenderung stagnan dari tahun ke tahun. Mayoritas pangsa pasar dari kerajinan topeng kayu Gunung Kidul ini adalah pasar internasional.

Selama ini, kerajinan topeng dari Gunung Kidul telah menembus pasar di Amerika Serikat, Italia, dan Jepang. Pangsa pasar dalam negeri masih didominasi Jakarta dan Bali. Beberapa kerajinan batik kayu asal Gunung Kidul juga dilabeli dengan Made in Bali. (WKM)

sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/30/1207229/pencantuman.made.in.indonesia.masih.tabu

Pembahasan

Dapat kita simak dari wacana diatas, bahwa pencantuman “Made in Indonesia” untuk diekspor ke Negara lain masih sangat tabu di kalangan pedagang Indonesia. Hal ini dapat dikarenakan karena berbagai aspek, yaitu kurangnya nasionalitas para pedagang, dan keuntungan yang di dapat dari pencantuman “Made In …”. Merk lokal sangat sulit dipasarkan keluar negri jika mencantumkan brand lokal untuk di ekspor. Sangat ironis,  batik kebanggaan negri yang menjadi identitas Indonesia justru lebih laku jika dipasarkan keluar negri tanpa mencantumkan identitas Indonesia.

Unsur knowledge yang kita dapat yaitu adalah, pencantuman brand atau merk yang masih sangat kental di dunia ini, contohnya dari kasus diatas. Brand Indonesia sangat masih kurang diminati di dunia International. Kebanyakan mata dunia, memandang Indonesia sebelah mata, kebanyakan mereka memandang Indonesia adalah Bali. Ironis sekali akan hal ini, yaitu pencantuman “Made in Bali” akan lebih laris dibandingkan dengan penjualan dengan label “Made in Indonesia”, yang mana batik sebenarnya bukan berasal dari daerah Bali semata.

Dapat kita lihat bahwa saat ini, konsumen masih terpatok terhadap gaya hidup yang berdasarkan brand positioning, dimana kebanyakan konsumer masih melihat suatu produk dari sebuah label, bukan kualitas semata. Dalam hal ini saya tidak menggeneralisir seluruh konsumer, tapi berdasar pengamatan saya brand menduduki peringkat pertama dalam pemilihan sebuah produk. Sebagai contoh, celana dengan merk “Levi’s” dan “Made in USA”  lebih banyak diminati daripada celana dengan merk “Vision Mission” , “Made in Indonesia”, padahal secara kualitas menurut saya Levi’s sendiri sudah kalah dalam sisi kualitas.

brand_positioning_4901

Pada aspek brand positioning inilah, para penjual dan pedagang memanfaatkan knowledge tersebut untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, dengan tidak melihat aspek nasionalitas, dan memalsukan label “Made in Indonesia” dengan label lain yang lebih dapat menarik perhatian konsumer. Pada saat ini, produk yang ditawarkan oleh para penjual dan pedagang adalah produk yang menguntungkan, bukan yang berkualitas.

Written by oktorio in: Case Study |

No Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URL


Leave a Reply

Powered by WordPress. Theme: TheBuckmaker. Zinsen, Streaming Audio